Fenomena perdagangan anak di bawah umur
sebagai budak sex (maaf) di Asia ternyata makin marak. Usia korbannya bisa
anak-anak yang baru berusia delapan atau sepuluh tahun. Berasal dari keluarga
melarat yang hidup di kawasan rural negara-negara Asia seperti:
Cina, Kamboja, Thailand, Srilanka, Filipina, Vietnam atau India. Dengan
iming-iming lowongan pekerjaan di restoran atau kafe di kota metropolitan,
namun ternyata sesampainya di sana mereka justru dilego, dijual ke rumah-rumah
pelacuran, guesthouse dsb. Untuk menjadi pekerja sex di usia
mereka yang masih belia.
Melakukan hubungan sex dengan anak berusia di bawah 16 tahun
adalah ilegal hukumnya di kebanyakan negara Asia. Namun toh fenomena demikian
masih sering terjadi di negara-negara tersebut di atas. Kemiskinan negara yang
ternyata mampu menggerogoti moral warganya memperparah keadaan. Banyaknya
aparat negara menutup sebelah mata, atau penegak hukum yang lebih suka menjual
hati nurani mereka pada pelaku kejahatan menjadikan usaha pemusnahan fenomena
tersebut nyaris tidak mungkin.
Dari file-file media masa ataupun NGO yang berusaha keras membabat
praktek tersebut terdapat banyak sekali cerita-cerita pilu,tentang gadis
belia,baru beberapa hari menjadi yatim piatu dijual oleh tetangga atau anggota
keluarga mereka sendiri. Mereka dilemparkan ke dalam jurang kenistaan, dengan
kesalahan mereka hanyalah kepolosan dan kelemahan mereka sendiri.
Kejam. Padahal hasil yang di peroleh dari melakukan perbuatan
tidak berperikemanusiaan itu akan habis hanya dalam hitungan hari saja.
Sementara sayatan luka pada korbannya akan terus terasa,terbawa sampai ke akhir
masa mereka.
Ada penjual ada pembeli tentunya. Berdasarkan data laporan dari
sumber yang sama, konsumen-konsumen berasal dari negara seperti Cina atau Korea
Selatan, Timur Tengah, Eropa, USA, atau bahkan Australia. Mereka sengaja datang
ke negara-negara miskin di atas,untuk mencari gadis belia yang belum pernah
bersentuhan dengan lawan jenis dan tidak terjangkit HIV. Mereka tentu saja
orang dengan dompet tebal, yang mampu membeli apa yang dimau.
Dan ternyata perbuatan mereka hanya dilandasi kepercayaan bahwa
apa yang mereka lakukan akan memperpanjang usia mereka, menambah kesehatan dan
mendatangkan prosperity. Ini untuk mereka yang berasal dari
Cina dan Korea Selatan.
Namun ada juga golongan yang termasuk Paedophiles(secara
sexual tertarik pada anak-anak). Dikabarkan mereka melakukan patroli di
pantai-pantai exotic Asia, dengan berkedok turis mencari
mangsa mereka. Golongan inilah yang kabarnya juga sampai di Indonesia, meskipun
belum banyak kasus yang dilaporkan dari sana. Atau mungkin memang radar
pemerintah lambat menangkap fenomena ini.
Tentu saja dunia tidak tinggal diam. UNESCO bekerja sama dengan
berbagai organisasi dan aktivis,berusaha keras memerangi fenomena tersebut.
Begitu banyak organisasi non goverment berdiri dengan tujuan yang sama
antara lain: AFESIP, ECPAT, SAP International,atau Center for The Protection
Child's Right, dsb.
Para Paedophiles pun ditangkap, crack down terjadi di berbagai tempat.
Namun tidak kalah sering turis gadungan tersebut akan segera meninggalkan
negara begitu mereka tahu kalau mereka sedang diawasi pihak keamanan.
Dan tentu saja usaha mereka masih saja terhambat dengan sikap
aparat negara yang acuh serta korupnya penegak hukum. Manusia-manusia tanpa
hati nurani seperti merekalah yang menjadikan usaha pihak-pihak yang peduli
bagaikan long endless battle.
Benarkah di dunia yang seluas ini tidak ada lagi tempat yang aman
untuk kembang-kembang belia seperti mereka? Kehidupan macam apa yang akan
mereka lalui di masa depan? Mungkin mereka akan terkapar di tepian got-got kota
metropolitan, dikerubuti lalat dan berbagai macam penyakit. Atau bahkan mereka
tidaka kan bertahan hidup selama itu.
Dosa dan salah apa yang mereka lakukan hingga menjadi korban
kebengisan manusia-manusia yang hatinya digerogoti cacing ketamakan dan kuman
kerakusan. Betapa kejamnya dunia ini.
Sumber: Media masa terkait, UNESCO, AFESIP, ECPAT, SAP
International.
Posting Komentar